Jumat, 04 April 2014

Produk Petis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pada tahun 2012 Produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan dari taget yang telah ditetapkan. Berdasarkan data laporan Kementrian Perikanan dan Kelautan per 31 Desember 2012, potensi sumber daya ikan yang telah dikelolah  sebesar 5.811.510 Ton atau 107% dari target yang ditetapkan sebelumnya sebesar 5.436.290 Ton. Untuk pencapaian Nilai Produksi Perikanan Tangkap pada tahun 2012  yang telah mencapai sebesar Rp.73.017.421.830 dari target yang ditetapkan sebesar 70.956.260.000 atau 103%.
Selanjutnya ikan dieksploitasi secara besar-besaran untuk kebutuhan manusia. Namun pemanfaatan hasil tangkapan ikan yang dikonsumsi oleh manusia hanya sebesar 50-60%, sisanya berupa limbah atau by product (Rustad, 2003). Limbah atau by product ini sebenarnya masih baik jika dimanfatkan dalam bentuk olahan hasil laut, difersifikasi pangan dan pengembangan sarana informasi bagi masyarakat, mengingat kandungan gizi dari by product sangat bagus, dan juga mengingat hewan laut termasuk ikan sendiri mempunyai kandungan protein, mineral, dan vitamin yang tinggi (Kjos, 2001).
Menurut Ilyas dan Suparno (1985) dalam Yonedi (2004), jenis limbah dan hasil sampingan dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
1.        Hasil sampingan pada pemanfaatan suatu spesies atau sumber daya. Bentuk limbah jenis ini merupakan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan biota perairan laut lainnya, maupun perairan umum dalam bentuk utuh yang merupakan hasil sampingan dari suatu tangkapan utama.
2.        Sisa pengolahan. Bentuk limbah ini merupakan bagian dari yang tidak dimakan yaitu berupa kepala, kulit, cangkang, ekor, tulang, dan isi perut.
3.        Surplus dari suatu panen utama atau raya. Limbah jenis ini merupakan jenis ikan utuh karena merupakan bagian dari kelebihan atau sisa-sisa panen.
4.        Sisa distribusi. Jenis limbah ini merupakan limbah dari sisa distribusi atau pemasaran biasanya sudah mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dimakan oleh manusia.
Untuk memanfaatkan limbah yang dihasilkan oleh sektor perikanan dalam skala yang telah ada, maka timbulah satu pemikiran bahwa bagaimanakah jika limbah yang telah tersedia, dimanfaatkan sebagai pangan yang memiliki nilai ekonomis dan memberikan peluang sebagai lapangan pekerjaan, juga sebagai salah satu tindakan implementasi bagi lingkungan dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan limbah hasil perikanan berupa limbah padat tulang ikan, ekor ikan, kepala ikan, maupun cangkang udang yang dapat diberikan adalah pemanfaatannya sebagai bahan untuk produk petis.
1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diberikan, maka berikut masalah yang diangkat pada makalah ini adalah:
1.        Apa dan bagaimanakah produk petis dan bahan pembuatan petis?
2.        Bagaimanakah proses pembuatan petis?
3.        Sebutkan perubahan yang terjadi terhadap bahan pangan selama pengolahan?
4.        Bagaimanakah pengemasan produk petis?

1.3    Manfaat
Berikut manfaat yang diperoleh pada makalah ini yaitu:
1.        Mengetahui apa itu petis dan bahan-bahan pembuatan petis.
2.        Mendeskripsikan alur proses pembuatan petis.
3.        Dapat menyebutkan perubahan yang terjadi pada bahan pangan selama pengolahan.
4.        Mengetahui pengemasan pada produk petis.
BAB II
PUSTAKA

2.1    Petis
Petis merupakan produk hasil perikanan yang umumnya terbuat dari hasil samping rebusan ikan/udang/kepala udang, berbentuk kental dengan rasa asin, manis dan manis pedas dan digunakan sebagai campuran bumbu masak alami pada masakan terutama daerah Madura dan Jawa Timur. Aneka hidangan seperti rujak cingur, rujak khas Madura, lontong balap, lontong lodeh, pecel semanggi khas Surabaya, tahu campur, tahu tek dan petis lading, menggunakan petis sebagai campuran bumbu penyedapnya.
Petis udang, petis ikan baik maupun petis kupang seringkali ditambahkan gula merah yang sudah dijadikan karamel dalam proses pembuatannya, oleh karena itu warna petis menjadi coklat kehitaman dan rasanya agak manis. Petis merupakan produk pangan yang awet karena memiliki kadar gula cukup tinggi (seperti halnya kecap). Umur simpan petis dapat mencapai 3-12 bulan, bergantung pada proses pengemasan dan penyimpanannya (Prayitno dan Susanto 2001).

2.2    Bahan tambahan pada pembuatan petis
Bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan, bertujuan untuk meningkatkan mutu makanan tersebut. Bahan-bahan yang tergolong zat aditif adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pengawet, pengemulsi, anti gumpal, pemucat, dan pengental (Buckle et al. 1995).
Beberapa bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan petis adalah sebagai berikut:
1.    Gula merah
Gula sering diartikan sebagai karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya untuk menyatakan sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit dan tebu (Buckle et al. 1985). Gula merah merupakan jenis gula yang terbuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon keluarga palm, seperti kelapa, aren dan siwalan. Kuantitas dan kualitas gula kelapa yang diperoleh dipengaruhi oleh karakteristik kelapa yang disadap, teknik penyadapan, teknik pengawetan nira dan pengolahannya (Rumokoi 1994). Nira cepat mengalami kerusakan jika kesegarannya tidak dapat dipertahankan atau mengalami kontaminasi, yang ditandai dengan perubahan rasa (menjadi asam), berbuih dan berlendir. Nira segar mempunyai kadar air 80-85% dan sukrosa sekitar 15% (Tjahjaningsih et al. 1983). Komposisi zat gizi gula kelapa per 100 g bahan dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat gizi gula kelapa per 100 g bahan
Zat Gizi
Jumlah
Kalori
386 Kkal
Lemak
10 g
Karbohidrat
76 g
Protein
3 g
Kalsium
76 g
Fosfor
37 g
Air
10 g
Sumber : Tjahjaningsi et al. (1983).
Penambahan gula pada pembuatan petis udang berfungsi sebagai penambah citarasa dan pengawet. Gula dapat menyebabkan penurunan aktivitas air, sehingga pertumbuhan mikroorganisme perusak pada makanan dapat terhambat. Konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi bergantung pada jenis dan kandungan zat-zat yang terdapat dalam bahan pangan. Kadar gula sebesar 70% dapat mencegah berbagai kerusakan makanan oleh aktivitas mikroorganisme, sedangkan konsentrasi dibawah 70% larutan gula masih efektif menghentikan kegiatan mikroba tetapi dalam jangka waktu yang pendek (Widyani dan Suciaty 2008).
2.    Garam
Garam dapur adalah sejenis mineral yang bentuknya seperti kristal putih dan dihasilkan dari air laut. Garam dapur yang tersedia secara umum adalah Sodium klorida (NaCl). Garam sangat diperlukan oleh tubuh, namun bila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, termasuk tekanan darah tinggi (Saparinto dan Hidayati 2006).
Jumlah garam yang digunakan dalam suatu adonan bergantung pada berbagai faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung lemah (soft flours) banyak membutuhkan garam karena garam akan mempengaruhi dan memperkuat protein. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah pemakaian garam antara lain resep atau formula yang digunakan dan mineral di dalam air. Bila air yang digunakan adalah jenis air keras (hard watery), jumlah garam yang dipakai perlu dikurangi. Jumlah garam yang digunakan pada makanan berkisar antara 2% - 2,25% (Auinger-Pfund et al. 1999).
3.        Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) telah lama digunakan sebagai salah satu bumbu masakan oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat lain di berbagai belahan dunia karena aromanya yang khas. Penggunaan bawang putih tidak hanya sebagai bahan penyedap rasa, tetapi digunakan juga sebagai salah satu bahan yang dapat memberikan efek kesehatan. Lebih dari 1000 publikasi hasil penelitian menunjukkan bahwa bawang putih merupakan salah satu bahan pangan terbaik untuk mencegah timbulnya penyakit (Saparinto dan Hidayati 2006). Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g bahan
Kandungan
Jumlah
Air
66,2 – 71,0 (g)
Energi
95,0 – 122 (Kkal)
Protein
4,5 – 7,0 (g)
Lemak
0,2 – 0,3 (g)
Karbohidrat
23,1 – 24,6 (g)
Ca
26,0 – 42,0 (mg)
P
15,0 – 109,0 (mg)
K
346,0 (mg)
Sumber : Saparinto dan Hidayati (2006).
Rasa dan aroma khas bawang putih ditimbulkan oleh komponen- komponen flavor yang terkandung dalam bawang putih (Adiyoga et al. 2004). Komponen penting pada bawang putih yang dapat menghasilkan aroma khas adalah komponen sulfur yang terdiri atas 60% diallyl disulfida, 20% diallyl trisulfida, 6% allyl propil disulfida, dengan sedikit dietil disulfida, diallyl polisulfida, dan sedikit allyl dan allysin (Brodnitz et al. 1971). Prekursor utama aroma pada bawang putih adalah S-allyl cysteine sulfoxide. Enzim pemecah asam allyl sulfenic akan membentuk senyawa allicin atau diallyl thiosulfinat. Allicin adalah komponen volatil utama pada ekstrak bawang putih segar.
4.        Pati-patian
Bahan pengikat dan bahan pengisi dibedakan berdasarkan pada kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pengisi. Bahan pengisi umumnya terdiri atas karbohidrat (pati) saja. Banyaknya kandungan karbohidrat yang terdapat pada bahan pengisi membuatnya memiliki kemampuan dalam mengikat air, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengemulsikan lemak. Kandungan nutrisi yang terdapat pada tepung tapioka, tepung beras dan tepung terigu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka, tepung terigu dan tepung beras dalam 100 g bahan makanan
Komposisi Zat Gizi Tepung
Tepung Tapioka*
Tepung Terigu**
Tepung Beras***
Kalori (per 100 g)
363
360
-
Karbohidrat (%)
88,2
73,0
80
Kadar Air (%)
9
10,6
12,0
Lemak (%)
0,5
1,6
0,5
Protein (%)
1,1
13,4
7,0
Abu (%)
-
1,4
0,5 mg
Sumber :  * Soemarno (2000).
**Payne (1987) dalam Faridah (2008).
***Prihartono (2003).
Bahan pengisi utama dalam pembuatan petis udang adalah pati. Pati mempunyai karateristik rasa tidak manis, tidak larut dalam air dingin akan tetapi dapat membentuk gel yang bersifat kental di dalam air panas. Muchtadi (1989), menyatakan bahwa pati mampu memberikan tekstur, mengentalkan, memadatkan serta memperpanjang umur simpan beberapa jenis makanan pada konsentrasi rendah. Bahan pengisi dan bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung kedelai, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, tepung tapioka, tepung ubi jalar, tepung kentang dan susu skim.


1)        Tepung terigu
Tepung terigu memiliki kandungan protein unik yang dapat membentuk suatu massa lengket dan elastis ketika tercampur dengan air. Protein tersebut dikenal sebagai gluten. Gluten merupakan campuran antara dua jenis protein gandum, yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar sedangkan gliadin memberikan sifat yang lengket (Payne 1987 dalam Faridah et al. 2008). Syarat mutu tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01-3751-2006.
No.
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1.
Keadaan


1.1
Bentuk
-
Serbuk
1.2
Bau
-
Normal
1.3
Warna
-
Putih, khas terigu
2.
Benda asing
-
Tidak ada
3.
Kehalusan, lolos ayakan 212
µm No. 70.
%
Min 95
4.
Kadar air
%
Maks 14, 5
5.
Kadar abu
%
Maks 0,6
6.
Kadar protein
%
Min 7,0
7.
Keasaman
Mg KOH/100g
Maks 50
8.
Falling number (atas dasar kadar air 14,0%)
Detik
Min 300
9.
Cemaran Logam


9.1
Timbal (Pb)
Mg/Kg
Maks 1,00
9.2
Raksa (Hg)
Mg/Kg
Maks 0,05
9.3
Tembaga (Cu)
Mg/Kg
Maks 10
10.
Cemaran arsen
Mg/Kg
Maks 0,50
11.
Cemaran mikroba


12.1
Angka lempeng total
Koloni/g
Maks 106
12.2
E.coli
APM/g
Maks 10
12.3
Kapang
Koloni/g
Maks 104
Sumber : BSN (2006).
2)        Tepung tapioka
Tepung tapioka merupakan granula pati yang banyak terdapat di dalam sel ketela pohon. Granula pati tapioka berukuran 5-35 mikron dan mempunyai sifat birefringence yang kuat. Heid dan Joslyn (1967) dalam Soemarno (2000), menyatakan bahwa pati tapioka tersusun atas 20% amilosa dan 80% amilopekti sehingga mempunyai sifat mudah mengembang (swelling) dalam air panas. Selain pati sebagai karbohidrat, terdapat juga komponen-komponen lain, seperti protein dan lemak dalam jumlah yang relatif sangat sedikit. Berikut merupakan syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994.
No.
Jenis Uji
Persyaratan
Mutu I
Mutu II
Mutu III
1.
Kadar Air (%)
15
15
15
2.
Kadar abu (%)
0,60
0,60
0,60
3.
Serat dan benda asing (%)
0,60
0,60
0,60
4.
Derajat putih minuman
(BaSO4 = 100) (%)
94,5
92,0
92
5.
Kekentalan
3 - 4
2,5 - 3
< 2,5
6.
Derajat asam maksimum
(ml N NaOH/100g)
3
3
3

7.
Cemaran logam:




Timbal (Pb) (mg/kg)
1,0
1,0
1,0

Tembaga (Cu) (mg/kg)
10,0
10,0
10,0

Seng (Zn) (mg/kg)
40
40
40

Raksa (Hg) (mg/kg)
0,05
0,05
0,05

Arsen (As) (mg/kg)
0,5
0,5
0,5
8.
Cemaran mikroba:



-    Angka lempeng total
(maksimum (koloni/gr)
1,0 x 106
1,0 x 106
1,0 x 106
- E. Coli maksimum
(koloni/gr)
10
10
10
-    Kapang
1,0 x 104
1,0 x 104
1,0 x 104
Sumber : BSN (1994).
3)        Tepung Tapioka
Tepung tapioka banyak digunakan di berbagai industri karena kandungan patinya yang tinggi. Pati pada tapioka mudah membengkak dan membentuk kekentalan dalam air panas (Sumaatmaja 1984). Tapioka memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku, seperti harga yang relatif murah, memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang terang, dan memiliki daya lekatnya yang baik (Radley 1976 diacu dalam Elliason 2004).
4)        Tepung Beras
Tepung beras merupakan tepung yang dibuat dari beras yang digiling/dihaluskan. Tepung beras memiliki warna putih, terasa lebih lembut dan halus dibandingkan dengan tepung ketan. Hal yang membedakan tepung terigu dengan tepung beras adalah kandungan glutennya. Tepung beras memiliki sedikit kandungan gluten. Suhu gelatinisasi tepung beras lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu tetapi lebih rendah dibandingkan dengan tepung jagung (Pan et al. 2001). Tepung beras memiliki kandungan amilosa 17%, amilopektin 83% dan umumnya suhu gelatinisasi pati beras antara 61-77,5 oC (Cecil et al. dalam Prihartono 2003).
5)        Air tajin
Air tajin adalah air hasil olahan beras yang diperoleh saat memasak nasi secara tradisional. Pemanfaatan air tajin sebagai minuman sudah dibudayakan sejak jaman dahulu, terutama pada masyarakat pedesaan. Air tajin biasanya diminum pada saat kondisi badan tidak enak, sakit dan selera makan menurun. Air tajin dimanfaatkan untuk memenuhi zat-zat gizi tubuh pada bayi, anak-anak dan orang dewasa. Masyarakat Bali memanfaatkan air tajin untuk memperbanyak. produksi ASI pada ibu setelah masa persalinan (Mandriwati et al. 1999). Kandungan asam amino yang terdapat pada air tajin disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan asam amino air tajin dalam 183 g.
Asam Amino
Kadar (mg) dalam 183 g
Triptophan
24
Treonin
81
Isoleusin
27
Leusin
134
Lisin
68
Metionin
48
Sistin
27
Fenilalanin
68
Tirosin
90
Valin
104
Arginin
132
Histidin
48
Sumber : Bowes dan Church’s (1985) diacu dalam Djaenal (2001).


2.3    Proses pembuatan petis kupang
Petis kupang dibuat dari bahan dasar air rebusan kupang. Proses pembuatan petis kupang menurut (Desiana 2000) yaitu meliputi.
1.        Pembuatan kaldu kupang
Bahan baku untuk membuat petis kupang berasal dari kaldu kupang dengan penambahan bahan tambahan lain, seperti gula merah, tepung tapioka, bawang putih, garam dan arang kayu. Kupang yang sudah dicuci bersih direbus sebanyak dua kali. Perebusan yang pertama menggunakan api kecil pada suhu 50 oC selama 2 jam. Perebusan ini bertujuan untuk membuka cangkang kupang. Perebusan yang kedua menggunakan api besar pada suhu 100 oC selama 30 menit. Perebusan yang kedua bertujuan untuk mendapatkan kaldu kupang. Selama perebusan, kupang diaduk dengan alat bantu pengaduk yang terbuat dari kayu. Pengadukan ini bertujuan untuk mempermudah terlepasnya daging dari cangkang kupang.
2.        Penyaringan
Kaldu kupang putih disaring terlebih dahulu sebelum diproses menjadi petis. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran lain sehingga mutunya tetap terjaga.
3.        Penambahan bahan
Bahan tambahan dalam pembuatan petis, antara lain garam, gula merah, cereh dan bawang putih. Semua bahan ditambahkan pada kaldu kupang kemudian dimasak pada suhu 100 oC selama ±12 jam.
4.        Pengentalan kaldu kupang
Kaldu kupang diaduk hingga menjadi pasta ketika volume airnya telah menyusut sebanyak 25% dari volume awal. Pengentalan ini membutuhkan waktu 5-10 menit hingga terbentuk pasta. Pasta yang dihasilkan akan berwarna hitam agak pekat, kental dan berasa asin.


5.      Pengadukan
Adonan diangkat dari wajan dan diaduk setelah agak mengental. Tujuan pengadukan adalah untuk menghomogenkan adonan dan membantu mempercepat proses pendinginan.
2.4    Perubahan Kimia Bahan Pangan Selama Pengolahan
Banyak reaksi kimia terjadi selama pengolahan pangan yang berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan dan penerimaannya. Masing-masing jenis reaksi melibatkan reaktan atau substrat yang berbeda, bergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Kerusakan kimiawi mencakup terjadinya reaksi pencoklatan, baik enzimatis maupun non- enzimatis, terjadinya proses ketengikan baik oksidatif maupun hidrolisis, yang akan menyebabkan penurunan mutu, baik mutu organoleptik maupun mutu gizinya (Apriyantono 2002). Petis mengalami kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan secara non-enzimatis.
1.        Perubahan kimia dan nilai gizi protein
Pemanasan protein menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil (Apriyantono 2002).
Pemasakan pada suhu 95-100oC dapat mereduksi kecernaan protein dan asam amino. Selain itu, protein terlarut, peptida dengan berat molekul rendah, dan asam amino bebas dapat larut dalam air perebus sehingga perebusan sebaiknya dilakukan di bawah 100oC. Pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan H2S yang merusak aroma dan mereduksi ketersediaan sistein dalam produk (Okazaki 2001). Denaturasi protein yang berlebihan juga menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein. Pemanasan yang tinggi juga dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik, menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase, enzim oksidatif dan hidrolitik lainnya. Enzim-enzim tersebut akan menyebabkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan ketika gagal diaktivasi (Apriyantono 2002).
2.        Perubahan kimia dan nilai gizi karbohidrat
Perubahan kimia karbohidrat terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah perubahan karbohidratnya itu sendiri tanpa adanya senyawa lain, sedangkan pada bagian kedua perubahan karbohidrat sebagai interaksinya dengan senyawa amino (reaksi Maillard).
Karbohidrat terdiri atas monosakarida (terdiri atas satu unit gula), disakarida (dua unit gula), oligosakarida (beberapa unit gula) dan polisakarida. Monosakarida cukup stabil pada kisaran pH 3–7, akan tetapi dapat terjadi perubahan yang ekstensif diluar pH tersebut. Enolisasi yang diikuti dengan eliminasi molekul air adalah reaksi yang dominan terjadi pada suasana asam. Molekul gula mudah mengalami fragmentasi (pemutusan ikatan karbon-karbon) melalui reaksi retroaldol menghasilkan berbagai senyawa karbonil yang reaktif jika dalam kondisi basa, khususnya bila disertai dengan pemanasan. Hasil reaksi ini berupa senyawa berwarna coklat, disamping senyawa-senyawa volatil yang berperan dalam flavor. Reaksi yang terjadi pada gula, khususnya selama pemanasan, akan mengurangi ketersediaan gula sehingga nilai kalori bahan pangan menjadi menurun. Pemanasan polisakarida (pati) dalam media yang banyak air, justru menguntungkan karena pati akan terhidrolisa menjadi molekul-molekul yang lebih kecil, oligo-, di- atau monosakarida sehingga pati yang terhidrolisa tersebut menjadi lebih mudah dicerna oleh tubuh (Apriyantono 2002).
Perubahan karbohidrat sebagai interaksinya dengan senyawa amino disebut reaksi Maillard. Reaksi Maillard terdiri atas reaksi yang sangat kompleks dan saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu jaringan proses. Reaksi ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu : tahap awal, intermediet dan akhir. Tahap pertama melibatkan pembentukan ARP (Amadori Rearrangement Product) melalui glikosilamin N-tersubstitusi, namun pada tahap ini belum terjadi pembentukan warna coklat. Tahap kedua melibatkan dekomposisi ARP sehingga terbentuk senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil dengan berat molekul rendah. Tahap ketiga melibatkan pembentukan glikosilamin N-tersubstitusi dan penyusunan kembali (rearrangement) struktur glikosilamin yang terbentuk (Apriyantono 2002).
Semua asam amino dapat berpartisipasi dalam reaksi Maillard karena mereka memiliki gugus amino bebas. Asam amino dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk terikat pada rantai peptida dan hanya gugus alfa amino terminal atau gugus amino yang terdapat pada rantai samping yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil (umumnya gugus karbonil yang ada pada gula pereduksi). Walaupun demikian, reaksi Maillard secara jelas dapat mempengaruhi ketersediaan biologis protein (bioavailability) karena residu asam amino pembatas yang ada pada peptida seperti residu lisin, arginin dan histidin akan bereaksi dengan gula pereduksi membentuk produk Amadori (Apriyantono 2002).
Bahan pangan akan menurun nilai gizinya, terutama nilai cerna dan ketersediaan asam amino jika terjadi reaksi Maillard. Walaupun demikian, reaksi Maillard bukanlah masalah yang serius dalam penurunan nilai gizi bahan pangan (Apriyantono 2002). Ket: Melanoidin adalah gugus amino yang membentuk senyawa berwarna coklat.
2.5    Pengemasan
Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan karena pengemasan mempunyai fungsi untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (Syarief dan Hariyadi 1992). Kemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri, sehingga mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusinya (Winarno dan Laksmi 1974). Pengemasan mempengaruhi nilai gizi bahan pangan, yaitu dengan cara mengatur derajat sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, pengepakan, konsentrasi oksigen, kadar air, pemindahan panas, dan kontaminasi (Setyahadi 1999).
Plastik mempunyai beberapa keunggulan sifat, di antaranya kuat tetapi ringan, tidak berkarat, termoplastis (bisa direkat menggunakan panas), dapat diberi label atau cetakan dengan berbagai kreasi, dan mudah diubah bentuknya. Plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal komposit atau multilapis dengan bahan lain sebagai bahan pembungkus, baik antara plastik yang berbeda jenis, plastik dan kertas, maupun dengan yang lainnya. Kombinasi tersebut dinamakan laminasi. Kombinasi dari berbagai jenis plastik dapat menghasilkan ratusan jenis. tumbuh tetapi tidak mati. Kultur akan aktif lagi jika memperoleh nutrisi kembali. Bakteri asam asetat akan menstimulasi khamir untuk memproduksi etanol kembali (Hidayat et al. 2006).


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan teori penelitian para ahli yang telah diberikan maka dapat disimpulkan bahwa petis ikan adalah salah satu produk yang memanfaatkan air rebusan (ekstraksi) hasil perikanan, seperti air rebusan tulang ikan, kepala ikan atau cangkang dan sejenisnya. Penggunaan bahan pembuatan petis harus memiliki karakteristik yang baik, sehingga tidak akan berbahaya bagi pengkonsumsi.
Proses pembuatan petis meliputi pembuatan kaldu, penyaringan, penambahan bahan, pengentalan kaldu, pengadukan dan yang terakhir pasti pengemasan. Proses pengolahan pasti akan merubah karakteristik bahan pangan dalam bentuk lain, yang disebabkan karena perlakuan seperti pemanasan, pendinginan dan sejenisnya. Serta petis adalah produk basah, sangat direkomendasikan untuk dikemas, sehingga produk memiliki daya awet yang lama.

3.2    Saran
Berdasakan kesimpulan dalam makalah ini maka penyusun memberikan saran, yaitu alangkah lebih baik jika ada penelitian di daerah Gorontalo mengenai produk petis, karena umumnya produk petis diolah di daerah Jawa. Sehingga peneliti paling tidak dapat membandingkan secara primer produk olahan produk petis untuk daerah Jawa dan daerah Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA
__________.1994. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-3451-1994. Tepung Tapioka. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.
__________.1994. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-3549-1994. Tepung Beras. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.
__________.2006. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-2346-2006. Produk Petis Udang. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.
Adiyoga W, Suherman R, Soetiarso TA, Jaya B, Udiarto BK, Rosliani R, Mussadad D. 2004. Profil komoditas bawang putih. Laporan Akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen pertanian.
Apriyantono A. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. Disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2.
Auinger-Pfund et al. 1999. Pengolahan Kue dan Roti. Jakarta. Depertemen Pendidikan Nasional Dikmenjur.
Brodnitz MH, Ascale JVP, dan Erlice LVD. 1971. Flavour component of garlic extract. Journal Agriculture and Food Chemistry. 11:377.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M, 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Purnomo dan Adiono. Universitas Islam. Jakarta.
Desiana. 2000. Identifikasi dan Monitoring Kemungkinan Adanya Cemaran pada Kupang Merah (Musculista senhausia) dan Kupang Putih (Corbula faba) di Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Djaenal DN. 2001. Mempelajari Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kondisi Protein Nasi Aron dan Air Tajin, Serta Daya Terima Nasi. [Skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Elliason AC. 2004. Starch in Food, Structure, Functions and Applications.
Faridah A, Kasmita S, Yulastri A, Yusuf L. 2008. Patiseri Jilid 1 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Hidayat N, Masdiana CP dan Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi: Yogyakarta.
Kjos, N. P. 2001. “Use if Fish By-Product in Animal Feeding”. Proceeding Workshop on Improved Utilization of By-Product for Animal Feeding in Vietnam. Departement of Animal Science. Agricultural University of Norway:1-5.
Mandriwati GA, Achjar AH, Suratiah dan Sister K. 1999. Studi Pembuatan dan Kandungan Gizi Minuman Air Tajin. dalam: Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Pangan, Jakarta 12-13 Oktober.
Muchtadi D. 1989. Petunjuk Laboratorium. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. IPB Press. Bogor.
Okazaki T, Yamauchi S, Yoneda T dan Suzuki K. 2001. Effect of combination of heating and pressurization on browning reaction of glucose-glicine solution and white sauce. Journal Science and Technology Research, 7 (4) 285-289.
Pan Y et al., 2001. Properties of Rice Flour and Its Applications In. Symposium Ricegrower’s Cooperative Research Centre for Sustainable Rice Production. Yanco Agricultural Institute.
Prayitno dan Susanto T. 2001. Kupang dan makanan tradisional Sidoarjo. Surabaya: Trubus Agriasasana.
Prihartono S. 2003. Pengembangan Produk Nugget Berbasis Sayuran dengan Bahan Pengikat Tepung Beras sebagai Pangan Fungsional. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rumokoi MMM. 1994. prospek pengembangan gula kelapa di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan 8 (1): p 9-16.
Rustad, T. 2003. “Utilisation of Marine By-Product”. Department of Biotechnology, Norwegian University of Science and Technology. Trondheim, Norway.
Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius: Yogyakarta.
Setyahadi S. 1999. Pengaruh Bahan Kemasan terhadap Bahan Olahan. dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Jakarta.
Soemarno. 2000. Rancangan Teknologi Proses Pngolahan Tapioka dan Produk- produknya. Kanisius: Jakarta. 54 hal.
Sumaatmaja 1984. Seni Mengolah Patiseri Eropa. CV. Putra Harapan.
Syarief R dan Hariyadi. 1992. Teknologi Pengemasan Pangan. IPB Press. Bogor.
Tjahjaningsih J. Surjadi AG, Waluyo SB dan Sudiro. 1983. Retensi Warna Gula Kelapa. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto (tidak dipublikasikan)
Widyani R dan Suciaty T. 2008. Prinsip Pengawetan Pangan. Swagati Press: Cirebon.
Winarno FG dan Laksmi BS. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan. Fatemeta dan THP, IPB.

2 komentar:

  1. merit casino
    The online casino is 메리트 카지노 쿠폰 a reputable gaming software platform and offers a range of payment and sports betting options. All 1xbet korean of these worrione products are provided at

    BalasHapus
  2. Casino Site - Lucky Club Live Casino Review
    Lucky Club Live is a well established and well established online casino that features a wide selection of slots, live games, and casino  Rating: 9.8/10 · ‎Review by luckyclub Lucky Club Live

    BalasHapus