BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada tahun 2012 Produksi perikanan tangkap mengalami
peningkatan dari taget yang telah ditetapkan. Berdasarkan data laporan
Kementrian Perikanan dan Kelautan per 31 Desember 2012, potensi sumber daya
ikan yang telah dikelolah sebesar 5.811.510
Ton atau 107% dari target yang ditetapkan sebelumnya sebesar 5.436.290 Ton.
Untuk pencapaian Nilai Produksi Perikanan Tangkap pada tahun 2012 yang telah mencapai sebesar Rp.73.017.421.830
dari target yang ditetapkan sebesar 70.956.260.000 atau 103%.
Selanjutnya ikan dieksploitasi secara besar-besaran
untuk kebutuhan manusia. Namun pemanfaatan hasil tangkapan ikan yang dikonsumsi
oleh manusia hanya sebesar 50-60%, sisanya berupa limbah atau by product (Rustad, 2003). Limbah atau by product ini sebenarnya masih baik
jika dimanfatkan dalam bentuk olahan hasil laut, difersifikasi pangan dan
pengembangan sarana informasi bagi masyarakat, mengingat kandungan gizi dari by product sangat bagus, dan juga
mengingat hewan laut termasuk ikan sendiri mempunyai kandungan protein,
mineral, dan vitamin yang tinggi (Kjos, 2001).
Menurut Ilyas dan Suparno (1985) dalam Yonedi (2004),
jenis limbah dan hasil sampingan dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
1.
Hasil sampingan
pada pemanfaatan suatu spesies atau sumber daya. Bentuk limbah jenis ini
merupakan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan biota perairan laut
lainnya, maupun perairan umum dalam bentuk utuh yang merupakan hasil sampingan
dari suatu tangkapan utama.
2.
Sisa pengolahan.
Bentuk limbah ini merupakan bagian dari yang tidak dimakan yaitu berupa kepala,
kulit, cangkang, ekor, tulang, dan isi perut.
3.
Surplus dari
suatu panen utama atau raya. Limbah jenis ini merupakan jenis ikan utuh karena
merupakan bagian dari kelebihan atau sisa-sisa panen.
4.
Sisa distribusi.
Jenis limbah ini merupakan limbah dari sisa distribusi atau pemasaran biasanya
sudah mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dimakan oleh manusia.
Untuk memanfaatkan limbah yang
dihasilkan oleh sektor perikanan dalam skala yang telah ada, maka timbulah satu
pemikiran bahwa bagaimanakah jika limbah yang telah tersedia, dimanfaatkan
sebagai pangan yang memiliki nilai ekonomis dan memberikan peluang sebagai
lapangan pekerjaan, juga sebagai salah satu tindakan implementasi bagi
lingkungan dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan limbah
hasil perikanan berupa limbah padat tulang ikan, ekor ikan, kepala ikan, maupun
cangkang udang yang dapat diberikan adalah pemanfaatannya sebagai bahan untuk
produk petis.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diberikan,
maka berikut masalah yang diangkat pada makalah ini adalah:
1.
Apa dan
bagaimanakah produk petis dan bahan pembuatan petis?
2.
Bagaimanakah
proses pembuatan petis?
3.
Sebutkan
perubahan yang terjadi terhadap bahan pangan selama pengolahan?
4.
Bagaimanakah
pengemasan produk petis?
1.3
Manfaat
Berikut manfaat yang diperoleh pada makalah ini
yaitu:
1.
Mengetahui apa
itu petis dan bahan-bahan pembuatan petis.
2.
Mendeskripsikan
alur proses pembuatan petis.
3.
Dapat
menyebutkan perubahan yang terjadi pada bahan pangan selama pengolahan.
4.
Mengetahui
pengemasan pada produk petis.
BAB II
PUSTAKA
2.1
Petis
Petis
merupakan produk hasil perikanan yang umumnya terbuat dari hasil samping
rebusan ikan/udang/kepala udang, berbentuk kental dengan rasa asin, manis dan
manis pedas dan digunakan sebagai campuran bumbu masak alami pada masakan
terutama daerah Madura dan Jawa Timur. Aneka hidangan seperti rujak cingur,
rujak khas Madura, lontong balap, lontong lodeh, pecel semanggi khas Surabaya, tahu
campur, tahu tek dan petis lading, menggunakan petis sebagai campuran bumbu
penyedapnya.
Petis udang, petis ikan baik maupun petis kupang
seringkali ditambahkan gula merah yang sudah dijadikan karamel dalam proses
pembuatannya, oleh karena itu warna petis menjadi coklat kehitaman dan rasanya
agak manis. Petis merupakan produk pangan yang awet karena memiliki kadar gula
cukup tinggi (seperti halnya kecap). Umur simpan petis dapat mencapai 3-12
bulan, bergantung pada proses pengemasan dan penyimpanannya (Prayitno dan
Susanto 2001).
2.2
Bahan tambahan pada pembuatan petis
Bahan
tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu
pengolahan makanan, bertujuan untuk meningkatkan mutu makanan tersebut.
Bahan-bahan yang tergolong zat aditif adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma,
pengawet, pengemulsi, anti gumpal, pemucat, dan pengental (Buckle et al. 1995).
Beberapa
bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan petis adalah sebagai berikut:
1.
Gula merah
Gula sering diartikan sebagai karbohidrat yang
digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya untuk
menyatakan sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit dan tebu (Buckle et al. 1985). Gula merah merupakan jenis gula yang terbuat dari nira, yaitu
cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon keluarga palm, seperti kelapa, aren
dan siwalan. Kuantitas dan kualitas gula kelapa yang diperoleh dipengaruhi oleh
karakteristik kelapa yang disadap, teknik penyadapan, teknik pengawetan nira
dan pengolahannya (Rumokoi 1994). Nira cepat mengalami kerusakan jika
kesegarannya tidak dapat dipertahankan atau mengalami kontaminasi, yang
ditandai dengan perubahan rasa (menjadi asam), berbuih dan berlendir. Nira
segar mempunyai kadar air 80-85% dan sukrosa sekitar 15% (Tjahjaningsih et al. 1983). Komposisi zat gizi gula
kelapa per 100 g bahan dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Komposisi zat gizi gula kelapa per 100 g bahan
Zat
Gizi
|
Jumlah
|
Kalori
|
386 Kkal
|
Lemak
|
10 g
|
Karbohidrat
|
76 g
|
Protein
|
3 g
|
Kalsium
|
76 g
|
Fosfor
|
37 g
|
Air
|
10 g
|
Sumber :
Tjahjaningsi et al. (1983).
Penambahan
gula pada pembuatan petis udang berfungsi sebagai penambah citarasa dan
pengawet. Gula dapat menyebabkan penurunan aktivitas air, sehingga pertumbuhan
mikroorganisme perusak pada makanan dapat terhambat. Konsentrasi gula yang
dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi bergantung pada
jenis dan kandungan zat-zat yang terdapat dalam bahan pangan. Kadar gula
sebesar 70% dapat mencegah berbagai kerusakan makanan oleh aktivitas
mikroorganisme, sedangkan konsentrasi dibawah 70% larutan gula masih efektif
menghentikan kegiatan mikroba tetapi dalam jangka waktu yang pendek (Widyani
dan Suciaty 2008).
2.
Garam
Garam
dapur adalah sejenis mineral yang bentuknya seperti kristal putih dan
dihasilkan dari air laut. Garam dapur yang tersedia secara umum adalah Sodium
klorida (NaCl). Garam sangat diperlukan oleh tubuh, namun bila dikonsumsi
secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, termasuk tekanan darah
tinggi (Saparinto dan Hidayati 2006).
Jumlah
garam yang digunakan dalam suatu adonan bergantung pada berbagai faktor,
terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung lemah (soft flours) banyak
membutuhkan garam karena garam akan mempengaruhi dan memperkuat protein. Faktor
lain yang mempengaruhi jumlah pemakaian garam antara lain resep atau formula
yang digunakan dan mineral di dalam air. Bila air yang digunakan adalah jenis
air keras (hard watery), jumlah garam yang dipakai perlu dikurangi. Jumlah
garam yang digunakan pada makanan berkisar antara 2% - 2,25% (Auinger-Pfund et al. 1999).
3.
Bawang putih
Bawang putih (Allium
sativum) telah lama digunakan sebagai salah satu bumbu masakan oleh
masyarakat Indonesia maupun masyarakat lain di berbagai belahan dunia karena
aromanya yang khas. Penggunaan bawang putih tidak hanya sebagai bahan penyedap
rasa, tetapi digunakan juga sebagai salah satu bahan yang dapat memberikan efek
kesehatan. Lebih dari 1000 publikasi hasil penelitian menunjukkan bahwa bawang
putih merupakan salah satu bahan pangan terbaik untuk mencegah timbulnya
penyakit (Saparinto dan Hidayati 2006). Komposisi kimia bawang putih dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g bahan
Kandungan
|
Jumlah
|
Air
|
66,2 – 71,0
(g)
|
Energi
|
95,0 – 122
(Kkal)
|
Protein
|
4,5 – 7,0
(g)
|
Lemak
|
0,2 – 0,3
(g)
|
Karbohidrat
|
23,1 – 24,6
(g)
|
Ca
|
26,0 – 42,0
(mg)
|
P
|
15,0 – 109,0
(mg)
|
K
|
346,0 (mg)
|
Sumber :
Saparinto dan Hidayati (2006).
Rasa
dan aroma khas bawang putih ditimbulkan oleh komponen- komponen flavor yang
terkandung dalam bawang putih (Adiyoga et
al. 2004). Komponen penting pada bawang putih yang dapat menghasilkan aroma
khas adalah komponen sulfur yang terdiri atas 60% diallyl disulfida, 20% diallyl
trisulfida, 6% allyl propil disulfida,
dengan sedikit dietil disulfida, diallyl polisulfida, dan sedikit allyl dan allysin (Brodnitz et al.
1971). Prekursor utama aroma pada bawang putih adalah S-allyl cysteine sulfoxide. Enzim pemecah asam allyl sulfenic akan membentuk senyawa allicin atau diallyl
thiosulfinat. Allicin adalah
komponen volatil utama pada ekstrak
bawang putih segar.
4.
Pati-patian
Bahan pengikat dan bahan pengisi
dibedakan berdasarkan pada kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pengisi. Bahan pengisi umumnya
terdiri atas karbohidrat (pati) saja. Banyaknya kandungan karbohidrat yang
terdapat pada bahan pengisi membuatnya memiliki kemampuan dalam mengikat air,
tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengemulsikan lemak. Kandungan nutrisi
yang terdapat pada tepung tapioka, tepung beras dan tepung terigu disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka, tepung
terigu dan tepung beras dalam 100 g bahan makanan
Komposisi
Zat Gizi Tepung
|
Tepung Tapioka*
|
Tepung Terigu**
|
Tepung Beras***
|
Kalori (per 100 g)
|
363
|
360
|
-
|
Karbohidrat (%)
|
88,2
|
73,0
|
80
|
Kadar Air (%)
|
9
|
10,6
|
12,0
|
Lemak (%)
|
0,5
|
1,6
|
0,5
|
Protein (%)
|
1,1
|
13,4
|
7,0
|
Abu (%)
|
-
|
1,4
|
0,5 mg
|
Sumber : * Soemarno (2000).
**Payne (1987) dalam Faridah (2008).
***Prihartono (2003).
Bahan pengisi utama dalam pembuatan
petis udang adalah pati. Pati mempunyai karateristik rasa tidak manis, tidak
larut dalam air dingin akan tetapi dapat membentuk gel yang bersifat kental di
dalam air panas. Muchtadi (1989), menyatakan bahwa pati mampu memberikan
tekstur, mengentalkan, memadatkan serta memperpanjang umur simpan beberapa
jenis makanan pada konsentrasi rendah. Bahan pengisi dan bahan pengikat yang
biasa digunakan adalah tepung kedelai, tepung terigu, tepung beras, tepung
jagung, tepung tapioka, tepung ubi jalar, tepung kentang dan susu skim.
1)
Tepung terigu
Tepung
terigu memiliki kandungan protein unik yang dapat membentuk suatu massa lengket
dan elastis ketika tercampur dengan air. Protein tersebut dikenal sebagai gluten. Gluten merupakan campuran antara dua jenis protein gandum, yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin
memberikan sifat-sifat yang tegar sedangkan gliadin
memberikan sifat yang lengket (Payne 1987 dalam Faridah et al. 2008). Syarat mutu tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01-3751-2006.
No.
|
Kriteria Uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
1.
|
Keadaan
|
|
|
1.1
|
Bentuk
|
-
|
Serbuk
|
1.2
|
Bau
|
-
|
Normal
|
1.3
|
Warna
|
-
|
Putih, khas terigu
|
2.
|
Benda
asing
|
-
|
Tidak ada
|
3.
|
Kehalusan,
lolos ayakan 212
µm No. 70.
|
%
|
Min 95
|
4.
|
Kadar air
|
%
|
Maks 14, 5
|
5.
|
Kadar abu
|
%
|
Maks 0,6
|
6.
|
Kadar
protein
|
%
|
Min 7,0
|
7.
|
Keasaman
|
Mg KOH/100g
|
Maks 50
|
8.
|
Falling
number (atas dasar kadar air 14,0%)
|
Detik
|
Min 300
|
9.
|
Cemaran
Logam
|
|
|
9.1
|
Timbal
(Pb)
|
Mg/Kg
|
Maks 1,00
|
9.2
|
Raksa (Hg)
|
Mg/Kg
|
Maks 0,05
|
9.3
|
Tembaga
(Cu)
|
Mg/Kg
|
Maks 10
|
10.
|
Cemaran
arsen
|
Mg/Kg
|
Maks 0,50
|
11.
|
Cemaran
mikroba
|
|
|
12.1
|
Angka
lempeng total
|
Koloni/g
|
Maks 106
|
12.2
|
E.coli
|
APM/g
|
Maks 10
|
12.3
|
Kapang
|
Koloni/g
|
Maks 104
|
Sumber : BSN (2006).
2)
Tepung tapioka
Tepung
tapioka merupakan granula pati yang
banyak terdapat di dalam sel ketela pohon. Granula
pati tapioka berukuran 5-35 mikron dan mempunyai sifat birefringence yang kuat. Heid dan Joslyn (1967) dalam Soemarno
(2000), menyatakan bahwa pati tapioka tersusun atas 20% amilosa dan 80% amilopekti
sehingga mempunyai sifat mudah mengembang (swelling) dalam air panas. Selain
pati sebagai karbohidrat, terdapat juga komponen-komponen lain, seperti protein
dan lemak dalam jumlah yang relatif sangat sedikit. Berikut merupakan syarat
mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.
Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994.
No.
|
Jenis Uji
|
Persyaratan
|
||
Mutu I
|
Mutu II
|
Mutu III
|
||
1.
|
Kadar Air
(%)
|
15
|
15
|
15
|
2.
|
Kadar abu (%)
|
0,60
|
0,60
|
0,60
|
3.
|
Serat dan
benda asing (%)
|
0,60
|
0,60
|
0,60
|
4.
|
Derajat
putih minuman
(BaSO4 =
100) (%)
|
94,5
|
92,0
|
92
|
5.
|
Kekentalan
|
3 - 4
|
2,5 - 3
|
< 2,5
|
6.
|
Derajat
asam maksimum
(ml N
NaOH/100g)
|
3
|
3
|
3
|
|
||||
7.
|
Cemaran
logam:
|
|
|
|
|
Timbal
(Pb) (mg/kg)
|
1,0
|
1,0
|
1,0
|
|
Tembaga
(Cu) (mg/kg)
|
10,0
|
10,0
|
10,0
|
|
Seng (Zn)
(mg/kg)
|
40
|
40
|
40
|
|
Raksa (Hg)
(mg/kg)
|
0,05
|
0,05
|
0,05
|
|
Arsen (As)
(mg/kg)
|
0,5
|
0,5
|
0,5
|
8.
|
Cemaran
mikroba:
|
|
|
|
- Angka lempeng total
(maksimum
(koloni/gr)
|
1,0 x 106
|
1,0 x 106
|
1,0 x 106
|
|
- E. Coli maksimum
(koloni/gr)
|
10
|
10
|
10
|
|
- Kapang
|
1,0 x 104
|
1,0 x 104
|
1,0 x 104
|
Sumber : BSN (1994).
3)
Tepung Tapioka
Tepung tapioka banyak digunakan di
berbagai industri karena kandungan patinya yang tinggi. Pati pada tapioka mudah
membengkak dan membentuk kekentalan dalam air panas (Sumaatmaja 1984). Tapioka
memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku, seperti harga yang relatif murah,
memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang
terang, dan memiliki daya lekatnya yang baik (Radley 1976 diacu dalam Elliason
2004).
4)
Tepung Beras
Tepung beras
merupakan tepung yang dibuat dari beras yang digiling/dihaluskan. Tepung beras
memiliki warna putih, terasa lebih lembut dan halus dibandingkan dengan tepung
ketan. Hal yang membedakan tepung terigu dengan tepung beras adalah kandungan
glutennya. Tepung beras memiliki sedikit kandungan gluten. Suhu gelatinisasi
tepung beras lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu tetapi lebih rendah
dibandingkan dengan tepung jagung (Pan et
al. 2001). Tepung beras memiliki kandungan amilosa 17%, amilopektin 83% dan
umumnya suhu gelatinisasi pati beras antara 61-77,5 oC (Cecil et al. dalam Prihartono 2003).
5)
Air tajin
Air tajin
adalah air hasil olahan beras yang diperoleh saat memasak nasi secara
tradisional. Pemanfaatan air tajin sebagai minuman sudah dibudayakan sejak
jaman dahulu, terutama pada masyarakat pedesaan. Air tajin biasanya diminum
pada saat kondisi badan tidak enak, sakit dan selera makan menurun. Air tajin
dimanfaatkan untuk memenuhi zat-zat gizi tubuh pada bayi, anak-anak dan orang
dewasa. Masyarakat Bali memanfaatkan air tajin untuk memperbanyak. produksi ASI
pada ibu setelah masa persalinan (Mandriwati et al. 1999). Kandungan asam amino yang terdapat pada air tajin
disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6.
Kandungan asam amino air tajin dalam 183 g.
Asam Amino
|
Kadar (mg) dalam 183 g
|
Triptophan
|
24
|
Treonin
|
81
|
Isoleusin
|
27
|
Leusin
|
134
|
Lisin
|
68
|
Metionin
|
48
|
Sistin
|
27
|
Fenilalanin
|
68
|
Tirosin
|
90
|
Valin
|
104
|
Arginin
|
132
|
Histidin
|
48
|
Sumber :
Bowes dan Church’s (1985) diacu dalam Djaenal (2001).
2.3 Proses pembuatan petis kupang
Petis kupang
dibuat dari bahan dasar air rebusan kupang. Proses pembuatan petis kupang menurut
(Desiana 2000) yaitu meliputi.
1.
Pembuatan kaldu kupang
Bahan baku untuk membuat petis kupang berasal dari kaldu kupang dengan penambahan
bahan tambahan lain, seperti gula merah, tepung tapioka, bawang putih, garam
dan arang kayu. Kupang yang sudah dicuci bersih direbus sebanyak dua kali.
Perebusan yang pertama menggunakan api kecil pada suhu 50 oC selama 2 jam.
Perebusan ini bertujuan untuk membuka cangkang kupang. Perebusan yang kedua
menggunakan api besar pada suhu 100 oC selama 30 menit. Perebusan yang kedua
bertujuan untuk mendapatkan kaldu kupang. Selama perebusan, kupang diaduk
dengan alat bantu pengaduk yang terbuat dari kayu. Pengadukan ini bertujuan
untuk mempermudah terlepasnya daging dari cangkang kupang.
2.
Penyaringan
Kaldu kupang putih
disaring terlebih dahulu sebelum diproses menjadi petis. Penyaringan bertujuan
untuk memisahkan kotoran-kotoran lain sehingga mutunya tetap terjaga.
3.
Penambahan bahan
Bahan tambahan dalam pembuatan petis, antara lain
garam, gula merah, cereh dan bawang putih. Semua bahan
ditambahkan pada kaldu kupang kemudian dimasak pada suhu 100 oC
selama ±12 jam.
4.
Pengentalan kaldu kupang
Kaldu kupang diaduk hingga menjadi pasta ketika
volume airnya telah menyusut sebanyak 25% dari volume awal. Pengentalan ini
membutuhkan waktu 5-10 menit hingga terbentuk pasta. Pasta yang dihasilkan akan
berwarna hitam agak pekat, kental dan berasa asin.
5. Pengadukan
Adonan diangkat dari wajan dan diaduk setelah agak
mengental. Tujuan pengadukan adalah untuk menghomogenkan adonan dan membantu
mempercepat proses pendinginan.
2.4
Perubahan
Kimia Bahan Pangan Selama Pengolahan
Banyak reaksi kimia terjadi selama pengolahan pangan yang berpengaruh
terhadap nilai gizi, keamanan dan penerimaannya. Masing-masing jenis reaksi
melibatkan reaktan atau substrat yang berbeda, bergantung pada jenis bahan
pangan dan kondisi penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Kerusakan kimiawi
mencakup terjadinya reaksi pencoklatan, baik enzimatis maupun non- enzimatis,
terjadinya proses ketengikan baik oksidatif maupun hidrolisis, yang akan
menyebabkan penurunan mutu, baik mutu organoleptik maupun mutu gizinya
(Apriyantono 2002). Petis mengalami kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh
reaksi pencoklatan secara non-enzimatis.
1.
Perubahan kimia dan nilai gizi protein
Pemanasan protein menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi, baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi tersebut diantaranya denaturasi,
kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna,
derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan
pembentukan senyawa aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan,
pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya
senyawa karbonil (Apriyantono 2002).
Pemasakan pada suhu 95-100oC dapat mereduksi kecernaan protein
dan asam amino. Selain itu, protein terlarut, peptida dengan berat molekul
rendah, dan asam amino bebas dapat larut dalam air perebus sehingga perebusan sebaiknya
dilakukan di bawah 100oC. Pemanasan yang berlebihan dapat
menyebabkan pembentukan H2S yang merusak aroma dan mereduksi ketersediaan
sistein dalam produk (Okazaki 2001). Denaturasi protein yang berlebihan juga
menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional
protein. Pemanasan yang tinggi juga dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa
menghasilkan senyawa toksik, menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase,
lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase, enzim oksidatif dan hidrolitik
lainnya. Enzim-enzim tersebut akan menyebabkan off-flavour, ketengikan,
perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan ketika
gagal diaktivasi (Apriyantono 2002).
2.
Perubahan kimia dan nilai gizi karbohidrat
Perubahan kimia karbohidrat terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama
adalah perubahan karbohidratnya itu sendiri tanpa adanya senyawa lain,
sedangkan pada bagian kedua perubahan karbohidrat sebagai interaksinya dengan
senyawa amino (reaksi Maillard).
Karbohidrat terdiri atas monosakarida (terdiri atas satu unit gula),
disakarida (dua unit gula), oligosakarida (beberapa unit gula) dan
polisakarida. Monosakarida cukup stabil pada kisaran pH 3–7, akan tetapi
dapat terjadi perubahan yang ekstensif diluar pH tersebut. Enolisasi yang
diikuti dengan eliminasi molekul air adalah reaksi yang dominan terjadi pada
suasana asam. Molekul gula mudah mengalami fragmentasi (pemutusan ikatan
karbon-karbon) melalui reaksi retroaldol menghasilkan berbagai senyawa karbonil
yang reaktif jika dalam kondisi basa, khususnya bila disertai dengan pemanasan.
Hasil reaksi ini berupa senyawa berwarna coklat, disamping senyawa-senyawa
volatil yang berperan dalam flavor. Reaksi yang terjadi pada gula, khususnya
selama pemanasan, akan mengurangi ketersediaan gula sehingga nilai kalori bahan
pangan menjadi menurun. Pemanasan polisakarida (pati) dalam media yang banyak
air, justru menguntungkan karena pati akan terhidrolisa menjadi molekul-molekul
yang lebih kecil, oligo-, di- atau monosakarida sehingga pati yang terhidrolisa
tersebut menjadi lebih mudah dicerna oleh tubuh (Apriyantono 2002).
Perubahan karbohidrat sebagai interaksinya dengan senyawa amino disebut
reaksi Maillard. Reaksi Maillard terdiri atas reaksi yang sangat kompleks dan
saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu jaringan proses. Reaksi ini
dibagi menjadi tiga tahap yaitu : tahap awal, intermediet dan akhir. Tahap
pertama melibatkan pembentukan ARP (Amadori Rearrangement Product) melalui
glikosilamin N-tersubstitusi, namun pada tahap ini belum terjadi pembentukan
warna coklat. Tahap kedua melibatkan dekomposisi ARP sehingga terbentuk
senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil dengan berat molekul rendah. Tahap ketiga
melibatkan pembentukan glikosilamin N-tersubstitusi dan penyusunan kembali
(rearrangement) struktur glikosilamin yang terbentuk (Apriyantono 2002).
Semua asam amino dapat berpartisipasi dalam reaksi Maillard karena mereka
memiliki gugus amino bebas. Asam amino dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk
terikat pada rantai peptida dan hanya gugus alfa amino terminal atau gugus
amino yang terdapat pada rantai samping yang dapat bereaksi dengan gugus
karbonil (umumnya gugus karbonil yang ada pada gula pereduksi). Walaupun
demikian, reaksi Maillard secara jelas dapat mempengaruhi ketersediaan biologis
protein (bioavailability) karena residu asam amino pembatas yang ada pada
peptida seperti residu lisin, arginin dan histidin akan bereaksi dengan gula
pereduksi membentuk produk Amadori (Apriyantono 2002).
Bahan pangan akan menurun nilai gizinya, terutama nilai cerna dan
ketersediaan asam amino jika terjadi reaksi Maillard. Walaupun demikian, reaksi
Maillard bukanlah masalah yang serius dalam penurunan nilai gizi bahan pangan
(Apriyantono 2002). Ket: Melanoidin adalah gugus amino yang membentuk senyawa
berwarna coklat.
2.5
Pengemasan
Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan karena
pengemasan mempunyai fungsi untuk mencegah atau mengurangi kerusakan,
melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik (Syarief dan Hariyadi
1992). Kemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau
produk industri, sehingga mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan,
pengangkutan dan distribusinya (Winarno dan Laksmi 1974). Pengemasan
mempengaruhi nilai gizi bahan pangan, yaitu dengan cara mengatur derajat
sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, pengepakan, konsentrasi
oksigen, kadar air, pemindahan panas, dan kontaminasi (Setyahadi 1999).
Plastik mempunyai beberapa keunggulan sifat, di antaranya kuat tetapi
ringan, tidak berkarat, termoplastis (bisa direkat menggunakan panas), dapat
diberi label atau cetakan dengan berbagai kreasi, dan mudah diubah bentuknya.
Plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal komposit atau multilapis dengan
bahan lain sebagai bahan pembungkus, baik antara plastik yang berbeda jenis,
plastik dan kertas, maupun dengan yang lainnya. Kombinasi tersebut dinamakan
laminasi. Kombinasi dari berbagai jenis plastik dapat menghasilkan ratusan
jenis. tumbuh tetapi tidak mati. Kultur akan aktif lagi jika memperoleh nutrisi
kembali. Bakteri asam asetat akan menstimulasi khamir untuk memproduksi etanol
kembali (Hidayat et al. 2006).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan teori penelitian para ahli yang telah diberikan maka dapat
disimpulkan bahwa petis ikan adalah salah satu produk yang memanfaatkan air
rebusan (ekstraksi) hasil perikanan, seperti air rebusan tulang ikan, kepala
ikan atau cangkang dan sejenisnya. Penggunaan bahan pembuatan petis harus
memiliki karakteristik yang baik, sehingga tidak akan berbahaya bagi
pengkonsumsi.
Proses
pembuatan petis meliputi pembuatan kaldu, penyaringan,
penambahan bahan, pengentalan
kaldu, pengadukan dan yang terakhir pasti pengemasan. Proses
pengolahan pasti akan merubah karakteristik bahan pangan dalam bentuk lain,
yang disebabkan karena perlakuan seperti pemanasan, pendinginan dan sejenisnya.
Serta petis adalah produk basah, sangat direkomendasikan untuk dikemas,
sehingga produk memiliki daya awet yang lama.
3.2
Saran
Berdasakan kesimpulan dalam makalah
ini maka penyusun memberikan saran, yaitu alangkah lebih baik jika ada
penelitian di daerah Gorontalo mengenai produk petis, karena umumnya produk
petis diolah di daerah Jawa. Sehingga peneliti paling tidak dapat membandingkan
secara primer produk olahan produk petis untuk daerah Jawa dan daerah
Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA
__________.1994.
Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-3451-1994. Tepung Tapioka. Dewan
Standarisasi Indonesia. Jakarta.
__________.1994.
Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-3549-1994. Tepung Beras. Dewan
Standarisasi Indonesia. Jakarta.
__________.2006.
Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-2346-2006. Produk Petis Udang. Dewan
Standarisasi Indonesia. Jakarta.
Adiyoga W,
Suherman R, Soetiarso TA, Jaya B, Udiarto BK, Rosliani R, Mussadad D. 2004.
Profil komoditas bawang putih. Laporan Akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
pertanian.
Apriyantono
A. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan.
Disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2.
Auinger-Pfund
et al. 1999. Pengolahan Kue dan Roti. Jakarta. Depertemen Pendidikan Nasional Dikmenjur.
Brodnitz MH,
Ascale JVP, dan Erlice LVD. 1971. Flavour component of garlic extract. Journal
Agriculture and Food Chemistry. 11:377.
Buckle KA,
Edwards RA, Fleet GH, Wooton M, 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Purnomo dan
Adiono. Universitas Islam. Jakarta.
Desiana.
2000. Identifikasi dan Monitoring Kemungkinan Adanya Cemaran pada Kupang Merah
(Musculista senhausia) dan Kupang Putih (Corbula faba) di Desa Balongdowo,
Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor: Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Djaenal DN.
2001. Mempelajari Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kondisi Protein Nasi Aron
dan Air Tajin, Serta Daya Terima Nasi. [Skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Elliason AC.
2004. Starch in Food, Structure, Functions and Applications.
Faridah A,
Kasmita S, Yulastri A, Yusuf L. 2008. Patiseri Jilid 1 untuk SMK. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Hidayat
N, Masdiana CP dan Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri.
Andi: Yogyakarta.
Kjos, N. P. 2001. “Use if Fish
By-Product in Animal Feeding”. Proceeding Workshop on Improved Utilization of
By-Product for Animal Feeding in Vietnam. Departement of Animal Science. Agricultural
University of Norway:1-5.
Mandriwati
GA, Achjar AH, Suratiah dan Sister K. 1999. Studi Pembuatan dan Kandungan Gizi Minuman
Air Tajin. dalam: Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Pangan, Jakarta 12-13
Oktober.
Muchtadi D.
1989. Petunjuk Laboratorium. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. IPB Press. Bogor.
Okazaki T,
Yamauchi S, Yoneda T dan Suzuki K. 2001. Effect of combination of heating and
pressurization on browning reaction of glucose-glicine solution and white
sauce. Journal Science and Technology Research, 7 (4) 285-289.
Pan Y et al., 2001. Properties of Rice Flour
and Its Applications In. Symposium Ricegrower’s Cooperative Research Centre
for Sustainable Rice Production. Yanco Agricultural Institute.
Prayitno dan
Susanto T. 2001. Kupang dan makanan tradisional Sidoarjo. Surabaya: Trubus
Agriasasana.
Prihartono
S. 2003. Pengembangan Produk Nugget Berbasis Sayuran dengan Bahan Pengikat
Tepung Beras sebagai Pangan Fungsional. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rumokoi MMM.
1994. prospek pengembangan gula kelapa di Indonesia. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan 8 (1): p 9-16.
Rustad, T. 2003. “Utilisation of
Marine By-Product”. Department of Biotechnology, Norwegian University of
Science and Technology. Trondheim, Norway.
Saparinto C
dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius: Yogyakarta.
Setyahadi S.
1999. Pengaruh Bahan Kemasan terhadap Bahan Olahan. dalam: Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pangan. Jakarta.
Soemarno.
2000. Rancangan Teknologi Proses Pngolahan Tapioka dan Produk- produknya.
Kanisius: Jakarta. 54 hal.
Sumaatmaja
1984. Seni Mengolah Patiseri Eropa. CV. Putra Harapan.
Syarief R
dan Hariyadi. 1992. Teknologi Pengemasan Pangan. IPB Press. Bogor.
Tjahjaningsih
J. Surjadi AG, Waluyo SB dan Sudiro. 1983. Retensi Warna Gula Kelapa. Laporan
Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto (tidak dipublikasikan)
Widyani R
dan Suciaty T. 2008. Prinsip Pengawetan Pangan. Swagati Press: Cirebon.
Winarno FG
dan Laksmi BS. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan. Fatemeta dan
THP, IPB.